Senin, 25 Februari 2008

Masjid Jami Al - Makmur (1704) Kebon Kacang, Jakarta Pusat

Perang antara Kerajaan Mataram, pimpinan Sultan Agung melawan VOC dibawah komando Jenderal Jan Pietersen Coen memperebutkan Batavia (1613-1645), ternyata banyak membawa hikmah. Meski kocar-kacir kalah hingga dua kali, banyak dari eks tentara Mataram memilih untuk menetap di Batavia membuka daerah-daerah baru di sekitar pusat kota. Bahkan sudah menjadi rahasia sejarah, sedikit banyak, orang-orang Mataram ini memberi pengaruh pula pada pembentukan budaya awal masyarakat Betawi. Mulai dari struktur bahasa, adat istiadat, pakaian sampai nama-nama tempat di sekitar Betawi tempo dulu.

Lalu selain ditularkan lewat saudagar Arab, perkembangan Islam di Batavia ditradisikan juga oleh orang-orang dari Mataram ini. Salah seorang bangsawan keturunan Kerajaan Mataram yang tercecer dari perang itu, diantaranya adalah Raden Kartobuso yang menurunkan anak bernama KH. Muhammad Asyuro. Muhammad Asyuro yang telah berhaji itu kemudian memilih wilayah Tanah Abang sebagai tempat mukimnya yang baru. Seolah sudah menjadi pakem baku, setiap pemukiman yang dibangun oleh kalangan Mataram pasti dilengkapi juga dengan sarana ibadah.

Masjid Al Makmur sekarang----persis bersebelahan dengan Pasar Tanah Abang, bercikal bakal dari sebuah langgar/mushola yang dibangun oleh KH. Muhammad Asyuro tahun 1704 masehi. Keberadaan langgar ini terus berlanjut sampai ke generasi KH. Muhammad Asyuro berikutnya. Kedua anak KH Muhammad Asyuro, KH. Abdul Murod Asyuro dan KH. Abdul Somad Asyuro tercatat menjadi penerus dakwah ayah mereka hingga masuk ke abad 20. Dengan semakin berkembangnya perkampungan dan bertambahnya jumlah penduduk sekitar langgar, keberadaan langgar itu dirasa tidak representatif lagi menampung jamaah yang semakin bertambah. Atas inisiatif tokoh masyarakat Tanah Abang keturunan Arab, Abu bakar bin Muhammad bin Abdurrahman Al-Habsyi, tahun 1915 langgar diubah menjadi masjid besar. Masjid yang dibangun di atas tanah wakaf-1.142 m2, milik Abu Bakar itu kemudian diberi nama Al Makmur.

Tahun 1932 masjid ini diperluas hingga ke arah utara seluas 508 m2. Perluasan di atas tanah wakaf Salim Bin Muhammad bin Thalib itu kemudian ditambah lagi dengan sebidang tanah milik masjid di bagian belakang seluas 525 m2 di tahun 1953. Jadi luas total masjid ini tercatat memakan lahan sebesar 2.175 m2. Tapi jangan heran jika kita melongok Masjid Al Makmur yang terletak di Jalan KH Mas Mansyur 6 sekarang, sosoknya terlihat tidak begitu istimewa. Tergeser oleh hiruk-pikuk pasar yang ruwet, dengan pemandangan kaki lima yang tumpah ke jalan, masjid ini seperti kehilangan karisma sebagai masjid tua.

Akibat pengembangan jalan, kini Masjid Al Makmur hanya menyisakan (habis) beranda depan dengan tiga gerbang berpilar ramping berbentuk kelopak melati dan list-plang dengan lima lubang angin serta dua menara berkubah kecil bergaya mercusuar (dengan jendela dan teras) di kiri kanan bangunan utama. Sementara, kadang-kadang pedagang kaki lima dengan enaknya menjajakan dagangannya di muka masjid. Jadi lengkap sudah kesendirian Masjid Al Makmur. Lokasi masjid yang berada di salah satu pusat perbelanjaan terbesar Jakarta ini sangat memudahkan dijangkau dari arah manapun. Dari Bendungan Hilir ada bemo atau angkutan kota yang menuju ke arah masjid ini. Demikian juga jika daerah Harmoni yang dipilih sebagai alternatif untuk menuju ke lokasi Masjid Al Makmur. Atau dari Jalan MH Thamrin maupun Sudirman, pilih saja bus kota ke arah Tanah Abang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar